Sabtu, 01 Oktober 2016

PERIODISASI SASTRA INDONESIA: Mengetahui Perubahan Sastra Indonesia Dari Masa ke Masa

Berbicara mengenai periodisasi sastra Indonesia berarti kita bicara mengenai perkembangan sastra dari suatu masa hingga masa tertentu. Dan juga mengulas tentang para tokoh sastra yang berperan pada masanya, karya sastra yang mereka cipta, hingga segala peristiwa yang mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia.

Sastra Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan dengan tahapan waktu yang beragam. Perubahan dan perkembangan itu sendiri terpengaruh oleh banyak hal. Tapi yang paling mempengaruhi adalah teknologi dan manusianya.

Kebiasaan atau tradisi (budaya) yang berlaku pada sekelompok masyarakat yang terus mengalami perubahan, kemudian turut memaksa perubahan terhadap sastra itu sendiri. Karena bagaimana pun juga sastra punya kaitan erat dengan budaya. Dan budaya hanya manusia yang menjalankannya. 


Periodisasi Sastra Indonesia dikelompokkan pada beberapa angkatan. Adapun yang dimaksud dengan angkatan adalah usaha terhadap pengelompokan sastra dari suatu masa hingga masa tertentu. Pengelompokan tersebut juga dilakukan berdasarkan ciri karya sastra dan keadaan masyarakat pada masa tersebut.

Ada beberapa angkatan sastra yang akan dibahas dibawah ini. Tapi sebelumnya mari lihat tabel dibawah yang memaparkan singkat tentang Periodisasi Sastra Indonesia.

Dengan tabel dibawah ini mudah-mudahan teman-teman bisa sedikit lebih mudah mengingat perjalanan waktu dari setiap angkatan dan membandingkan ciri khas dari setiap angkatan.



 

Dengan adanya pergantian angkatan sastra. Karya-karya sastra yang dicipta pun menjadi nampak beragam dengan cirinya masing-masing. Tak hanya itu, angkatan-angkatan tersebut juga membawa sastra Indonesia pada nilai-nilai yang lebih baik dan sempurna.

Namun, bukan berarti sastra pada angkatan-angkatan sebelumnya tidak sempurna. Hanya saja, nilai-nilai yang terkandung pada karya sastra selalu menunjukkan nilai-nilai yang hidup pada masyarakat masa itu. Maka, ketika nilai-nilai kehidupan masyarakat telah menuju pada perubahan, sastra turut mengikutinya.

Segala perubahan yang terjadi pada masyarakat ditunjukkan melalui sastra. Maka dengan sastra kita bisa mengetahui keadaan masyarakat pada masa hidupnya kesusastraan tersebut.

Terkadang pada waktu tertentu, sastra juga mampu mempengaruhi perubahan keadaan masyarakat. Pada beberapa angkatan sastra Indonesia hal tersebut juga pernah terjadi.
 

Sekarang mari kita ulas satu persatu mengenai Periodisasi Sastra Indonesia. Dalam pembahasan mengenai periodisasi sastra ini, akan menyinggung sedikit mengenai beberapa sejarah penting. Karena beberapa sejarah tersebut punya keterkaitan dengan kesusastraan Indonesia.
 


1. Angkatan Pujangga Lama
Angkatan Pujangga Lama bisa dibilang merupakan angkatan pelopor munculnya kesusastraan Indonesia. Pada angkatan ini kesusastraan Indonesia masih menggunakan Bahasa Melayu. Bahasa Melayu sendiri merupakan cikal bakal lahirnya Bahasa Indonesia.

Selain itu, pada masa angkatan ini Indonesia masih terdiri dari berbagai kerajaan. Dan belum membentuk negara kesatuan. Maka bahasa Indonesia pun belum dikukuhkan sebagai bahasa kesatuan.

Bahasa Indonesia baru diresmikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sedangkan angkatan pujangga lama telah ada sebelum abad ke-20. Maka, jelas saja setiap daerah yang ada di Indonesia dahulu punya hasil karya sastra dengan jenis tulisannya masing-masing yang bukan abjad resmi Bahasa Indonesia. Seperti Aceh yang hampir mayoritas bertuliskan Arab-Melayu, dan Jawa dengan Aksara Kawi (Aksara Hanacaraka).
 

Pada masa ini karya-karya yang dihasilkan masih didominasi oleh Syair, Hikayat, Gurindam, dan Pantun. Dengan para sastrawannya sendiri banyak bermunculan dari negara pantai Sumatera dan semenanjung Malaya yang berbudaya Melayu Klasik dan dipengaruhi Islam yang kuat.

Pengaruh Islam di Sumatera memang sangat lebih kuat dibandingkan pengaruh agama lain yang telah ada pada saat itu. Tidak seperti daerah Jawa yang kental dengan pengaruh Hindu maupun Budha. Hal tersebut membuat tokoh-tokoh sastra yang lahir adalah mereka yang berprofesi sebagai Ulama.

Mereka menciptakan karya sastra dalam bentuk apapun yang berisikan nilai-nilai dakwah didalamnya. Itu sekaligus jalan bagi mereka untuk melakukan penyebaran agama Islam, perluasan budaya, dan menambah pengikut kerajaan yang mereka abdi.

Seperti misalnya Hamzah Fansuri. Merupakan seorang tokoh Sufi yang begitu mahir dalam menciptakan Syair. Dia juga disebut tokoh pembuka munculnya kesusastraan Indonesia, serta tokoh Islam Nusantara. Ada banyak syair-syair yang diciptakannya beraspekkan Tasawuf (Ilmu agama). Syair-syair yang diciptanya memiliki isi dan makna yang bertujuan agar orang cinta pada Illahi.

Dalam kesusastraan Indonesia dia adalah orang pertama yang memperkenalkan Syair, Puisi empat baris dengan rima a-a-a-a. Seperti pada contoh syair dibawah ini:

Sidang fakir empunya kata
Tuhanmu zhahir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata

 

Selain itu, seorang Hamzah Fansuri juga merupakan pelopor pertama yang menulis kitab keilmuan dalam bahasa Melayu. Dia berhasil mengankat derajat bahasa Melayu dari sekadar Lingua Franca (bahasa pergaulan yang sifatnya rendahan) menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern.

Selain Hamzah Fansuri, juga ada Syamsuddin Pasai, Abdurrauf Singkil, dan Nuruddin ar-Raniri yang memunculkan karya-karya klasik selanjutnya dari Kesultanan Aceh pada abad XVII.

Karya-karya sastra yang dihasilkan pada masa ini beberapa masih terasa Supernatural. Karena berkisah tentang Dewa-dewa, raksasa, atau dongeng yang muluk-muluk. Selain itu, bahasa yang digunakan pun masih sangat baku, hingga terasa sedikit kaku.

Adapun beberapa karya sastra yang terdapat pada angkatan pujangga lama, diantaranya:

1. Sejarah: Sejarah Melayu, Tuhfat al-Nafis (karya Raja Ali Haji).

2. Hikayat: Hikayat Abdullah, Hikayat Aceh, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Andaken Penurat, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Djahidin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Kadirun, Hikayat Kalila dan Damina, Hikayat Masydulhak, Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Pandja Tanderan, Hikayat Putri Djohar Manikam, Hikayat Sri Rama, Hikayat Tjendera Hasan, Tsahibul Hikayat.

3. Syair: Syair Bidasari, Syair Hukum Nikah (karya Raja Ali Haji), Syair Ken Tambuhan, Syair Sidang Fakir (karya Hamzah Fansuri), Syair Sultan Abdul Muluk (karya Raja Ali Haji), Syair Burung Unggas (karya Hamzah Fansuri), Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Raja Siak.

4. Gurindam: Gurindam Dua Belas.

5. Kitab Agama: Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Para Pecinta) Karya Hamzah Fansuri, Asrar al-‘Arifin (Rahasia-rahasia Para Gnostik) karya Hamzah Fansuri, Nur ad-Daqa’iq (Cahaya pada Kehalusan-kehalusan) karya Syamsuddin Pasai, Bustan as-Salatin (Taman Raja-raja) karya Nuruddin ar-Raniri.


2. Angkatan Sastra Melayu Lama

Tidak diketahui pasti mengenai kapan sebenarnya masa kesusastraan Angkatan Sastra Melayu Lama ini mulai muncul. Ada yang beranggapan sebelum munculnya Angkatan Balai Pustaka tahun 1920.

Tapi, cukup banyak sumber yang mengatakan bahwa angkatan ini muncul antara tahun 1870 – 1942. Dimana berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera, Cina, dan masyarakat Indonesia – Eropa.

Hal tersebut diketahui dari diketemukannya karya-karya berbahasa melayu yang dihasilkan pada waktu itu. Karya-karya tersebut berupa Syair, Hikayat, dan terjemahan Novel Barat.

Namun jika mengacu pada salah satu tokohnya yaitu R.M Tirto Adhi Soerjo yang menerbitkan surat kabar Medan Priaji (1907), yang mana surat kabar tersebut merupakan Surat Kabar Nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu. Dan pada surat kabar itu pula pernah diterbitkannya salah satu hikayat berbahasa Melayu yang diciptakan pada zaman tanam paksa antara tahun 1830 – 1890, dalam bentuk cerita bersambung. Yaitu hikayat Siti Mariah

Melihat hal tersebut memang benar kiranya kalau awal kemunculan angkatan sastra melayu lama adalah sekitar tahun 1870-an. Dan masa berakhirnya pada masa dimulainya angkatan Balai Pustaka (1920).

Beberapa karya sastra angkatan sastra melayu lama adalah: Robinson Crusoe (Terjemahan), Lawan-Lawan Merah, Mengelilingi Bumi Dalam 80 Hari (Terjemahan), Nyai Dasima oleh G. Francis, Gaaf de Monte Cristo (Terjemahan), Kapten Flamberger (Terjemahan), Rocambole (Terjemahan), Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhkoda Bontekoe, Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya, Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo), Cerita Nyi Parina, Cerita Nyai Sarikem, Cerita Nyonya Kong Hong Nio, Nona Leonie, Warna Sari Melayu oleh Kat S.J, Cerita Si Conat oleh F.D.J Pangemanan, Cerita Rossina, Nyai Isah oleh F. Wiggers, Drama Raden Bei Surioretno, Syair Java Bank Dirampok, Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang, Cerita Oey See oleh Thio Tjin Bhoen, Tambahsia, Busono oleh R.M Tirto Adhi Soerjo, Nyai Permana, Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (Indo).



 

3. Angkatan Balai Pustaka
Kesusastraan pada angkatan ini muncul sejak tahun 1920. Misi yang dibawa oleh para sastrawannya adalah mencoba menggantikan karya-karya sastra melayu rendahan yang identik dengan isinya mengenai pernyaian (Hal-hal yang cabul).

Pada Angkatan Balai Pustaka banyak karya-karya sastra seperti Syair, Hikayat, Gurindam, dan Pantun mulai digantikan dengan Roman, Novel, Cerpen, Drama, dan Puisi.

Tetapi pada angkatan ini karya-karya berbahasa Melayu masih tetap dipertahankan. Hanya saja pada taraf bahasa Melayu tinggi. Selain bahasa Melayu, beberapa karya sastra juga ada yang diterbitkan menggunakan bahasa Jawa dan Sunda, serta dalam jumlah terbatas bahasa Bali, Batak, dan Madura.

Dalam sejarahnya, balai pustaka awalnya dibentuk ketika pemerintahan kolonial Belanda mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu commissie voor de indlandsche school en volkslectuur yang diketuai oleh Dr. G.A.J Hazeu.

Dan balai pustaka sendiri kala itu baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr D.A Rinkes sampai tahun 1916 dengan tugasnya adalah memajukan moral dan budaya serta meningkatkan apresiasi sastra.

Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan colonial Belanda mendirikan kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.

Sebenarnya pemerintahan Belanda sendiri punya unsur politis dalam mendirikan Balai Pustaka. Mereka ingin meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda.

Selain itu, bangsa Belanda juga bertujuan menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa. Agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.

Namun hal tersebut masih disikapi positif oleh sebahagian kalangan pribumi kala itu. Karena Balai Pustaka terus mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku dengan tarif terjangkau, dan memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.

Faktor-faktor inilah yang kemudian merubah perjalanan kesusastraan Indonesia menjadi sedikit lebih modern. Meskipun mengikuti ideologi kolonial Belanda.

1. Keberadaan Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya-karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding sebagai “bacaan liar”. Karya-karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan majalah, dianggap tidak ada.

2. Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku-buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel-novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh-tokoh yang terkesan karikaturs.

3. Penetapan bahasa Melayu mendorong munculnya sastrawan-sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan-sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.

Ketika Belanda mundur dari Indonesia dan Jepang masuk sebagai penjajah baru, Balai Pustaka masih tetap bertahan dan menjalankan kegiatannya. Hanya saja nama Balai Pustaka diubah saat itu menjadi Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.

Beberapa karya Balai Pustaka, diantaranya: Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (Abdul Muis), Pertemuan Jodoh (Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sultan Iskandar), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sultan Iskandar), Muda Taruna (Muhamad Kasim), Kasih Tak Terlerai (Suman H.S), Buah di Kedai Kopi (Suman H.S), Darah Muda (Adinegoro), Asrama Jaya (Adinegoro), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sultan Tati), Dagang Melarat (Abas Sutan Pamunjak Nan Sati), Pertemuan (Abas Sutan Pamunjak Nan Sati).

Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat – istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis lainnya pada masa itu.


4. Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru ini bisa dibilang adalah angkatan yang menentang pemerintahan kolonial saat itu. Karena banyaknya sensor karya tulis para sastrawan yang dilakukan oleh Balai Pustaka.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kalau Balai Pustaka merupakan bentukan pemerintahan kolonial yang bertujuan politis agar masyarakat mendapatkan bacaan yang tidak memicu pergerakan yang menentang pemerintahan saat itu.

Sastra Pujanga Baru merupakan sastra Intelektual, Nasionalitis, dan Elitis. Yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Karya Sutan Takdir Alisjahbana yaitu Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Sebab, menjadi karya terpenting sebelum perang.

Selain Sutan Takdir Alisjahbana juga ada nama Amir Hamzah, dan Armijn Pane yang turut berperan dalam angkatan ini. Mereka bertiga sebelumnya pernah menjadi bagian dari Balai Pustaka.

Para sastrawan pujangga baru membagi diri mereka menjadi kelompok, yaitu:

1. Kelompok “Seni Untuk Seni”. Yang mana dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah.

2. Kelompok “Seni Untuk Pembangunan Masyarakat”. Yang mana dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Rustam Effendi.

Mengenai sejarah munculnya angkatan pujangga baru, itu berawal dari nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Nama majalah tersebut adalah Pujangga Baru.

Adapun pengasuh dari majalah tersebut adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane.

Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi atau aliran. Namun demikian, orang-orang atau pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat di majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.

Karya-karya yang terbit pada majalah itu sudah ada setelah terbentuknya zaman Balai Pustaka. Sekitar tahun 1930 hingga tahun 1942.

Untuk memudahkan kita mengingatnya, bahwa adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat di majalah tersebut.

Adapun majalah tersebut, diteritkan oleh Pustaka Rakyat, yaitu suatu Badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian.

Namun, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintahan Jepang dengan alasan “kebarat-baratan”.

Setelah Indonesia merdeka, majalah ini pun diterbitkan lagi (tahun 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksinya: Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh-tokoh sastra angkatan ’45 seperti Asrul Sani, Riai Apin, dan S. Rukiah.

Karya-karya sastra yang lahir dari angkatan ini bersifat Romantis – Idealistik. Beberapa karya tersebut diantaranya:

1. Sutan Takdir Alisjahbana: Dian Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega – Kumpulan Sajak (1935), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940).

2. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka): Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Tuan Direktoer (1950), Didalam Lembah Kehidoepan (1940).

3. Armijn Pane: Belenggu (1940), Jiwa Berjiwa, Gamelan Jiwa – Kumpulan Sajak (1960), Djinak-Djinak Merpati – Sandiwara (1950), Kisah Antara Manusia – Kumpulan Cerpen (1953), Habis Gelap Terbitlah Terang – Terjemahan Surat R.A Kartini (1945).

4. Sanusi Pane: Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927), Madah Kelana (1931), Sandhyakala Ning Majapahit (1933), Kertaya (1932).

5. Tengku Amir Hamzah: Nyanyi Sunyi (1937), Begawat Gila (1933), Setanggi Timur (1939).

Masih banyak sastrawan-sastrawan lainnya yang ada di angkatan ini dan karya-karyanya yang juga dimuat di majalah Pujangga Baru.


5. Angkatan 1945

Kesusastraan pada angkatan ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1942. Dimana itu adalah tahun masuknya Jepang ke Indonesia atas pengambilalihan kekuasaan dari negara Belanda. Maka, bisa dikatakan kesusastraan pada angkatan ini adalah kesusastraan zaman penjajahan Jepang.

Pada masa ini juga, masyarakat pribumi yang berbahasa Belanda dianjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut juga berpengaruh pada penggunaan bahasa pada surat-surat keputusan di kantor-kantor.

Perbedaan yang sangat mendasar pada angkatan ini dengan angkatan Pujangga Baru adalah terletak pada sifatnya yaitu Romantis Realistik.

Adapun yang disebut-sebut sebagai pelopor yang cukup terkenal namanya dari angkatan sastra ini adalah Chairil Anwar. Oleh H.B Jassin dia disebut juga sebagai pelopor puisi modern Indonesia.

Chairil Anwar telah menciptakan karya sebanyak 96 karya sastra. Termasuk diantaranya 70 puisi.

Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interprestasi. Dari puisinya yang berjudul “Aku”, dia kemudian mendapat julukan “Si Binatang Jalang”.

Chairil Anwar tidak sendirian. Ada nama Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus yang juga turut menjadi pelopor di angkatan ini. Karya-karya yang mereka cipta banyak yang bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan.

Meskipun terbilang dalam waktu yang cukup singkat, yaitu antara tahun 1942 – 1945. Para sastrawan pada angkatan ini tidak berhenti berkarya begitu saja setelah kemerdekaan Indonesia.

Sebutan “Angkatan ‘45” sebenarnya baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar (Tokoh Pers, Sastrawan, Sejarawan, Budayawan), meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatannya karena nama tersebut kurang pantas ditujukan kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para pejuang kemerdekaan yang melakukan perang. Yang mana sebelumnya telah diberi predikat sebagai angkatan ’45.

Pada angkatan ini, banyak sastrawan terbagi dalam beberapa kubu berbeda. Beberapa ada di pihak Jepang sebagai propaganda Jepang. Seperti Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, Karim Halim, dan Usmar Ismail. Mereka pun dianggap sebagai sastrawan-sastrawan resmi Jepang.

Di kubu yang berbeda. Yaitu sebagai sastrawan yang menentang Jepang. Diantaranya Chairil Anwar, Idrus, dan Amir Hamzah.

Selain itu, ada juga sastrawan yang kompromistis seperti Maria Amin. Dan yang bimbang seperti Bakrie Siregar.

Adapun pembedaan kubu-kubu tersebut dilihat dari karya-karya yang mereka ciptakan.
Ada beberapa ciri-ciri yang sangat menonjol dari angkatan ini. Baik dari karyanya, maupun pelakunya. Ciri-ciri tersebut adalah:

1. Terbuka

2. Pengaruh unsur sastra asing lebih luas

3. Corak isi lebih Realis, Naturalis

4. Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis

5. Penghematan kata dalam karya

6. Ekspresif

7. Sinisme dan Sarkasme

8. Karangan Prosa berkurang, sedangkan Puisi berkembang.

Pada angkatan ini didapati sebuah surat. Dimana surat tersebut dianggap sebagai pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang pada kemudian hari dikenallah mereka sebagai Angkatan ’45. Surat tersebut dinamakan “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Yang pada intinya surat tersebut berisikan pandangan hidup para tokoh sastra angkatan ’45 secara eksplisit.

Berikut isi suratnya:




Karya-karya sastra yang lahir pada angkatan ini adalah:

1. Chairil Anwar: Kerikil Tajam (1949), Deru Campur Debu (1949)

2. Asrul Sani bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar: Tiga Menguak Takdir (1950)

3. Idrus: Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948), Aki (1949), Perempuan dan Kebangsaan.

4. Achdiat K. Miharja: Atheis (1949)

5. Trisno Sumardjo: Kata Hati dan Perbuatan (1952)

6. Utuy Tatang Sontani: Suling (Drama) (1948), Tambera (1949),

7. Suman H.S: Pertjobaan Setia (1940)


6. Angkatan 1950 – 1960-an

Pada angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah yang dipimpin oleh H.B Jassin. Ciri yang ditunjukkan dari angkatan ini adalah karya-karya sastra yang diciptakan didominasi dengan cerpen dan kumpulan puisi.

Majalah sastra tersebut hanya bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, yaitu Sastra.

Jika pada angkatan sebelumnya (Angkatan ’45), banyak para pelakunya berkarya dalam upaya perjuangan kemerdekaan. Dengan melawan berbagai pengekangan dan penindasan dari negara asing. Maka, lain halnya dengan angkatan ini.

Para sastrawan pada angkatan ini mengalami konflik serius yang membuat mereka terpecah belah. Adapun konflik itu sendiri akibat dari perbedaan pendapat terhadap ideology yang ingin dicapai.

Awal mula konflik muncul karena beberapa kalangan sastrawan terlibat dalam politik praktis. Mereka membentuk sebuah organisasi khusus yang pada pokoknya bertugas dalam bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu.

Organisasi tersebut adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra sangat lekat dengan beberapa jargonnya seperti, “Seni Untuk Rakyat”, “Politik Adalah Panglima”, “Realisme Sosial”, serta “Ideologi Diatas Seni”.

Beberapa nama yang tergabung dalam Lekra, diantaranya: Bakrie Siregar (Sastrawan), A.S Dharta (Sastrawan), Pramoedya Ananta Toer (Sastrawan), Rivai Apin (Sastrawan), Utuy Tatang Sontani (Sastrawan), Joebaar Ajoeb (Sastrawan, Budayawan), Affandi Koesoema (Seniman), Djoko Pekik (Seniman), Gregorius Soeharsojo Goenito (Seniman), Amarzan Ismail Hamid (Wartawan), dan masih banyak lagi.

Seperti klaim yang pernah disampaikan Pramoedya pada tahun 1963, bahwa Lekra telah memiliki ribuan anggota dari berbagai daerah. Lekra memang memiliki kantor/badan cabang di banyak daerah.

Lalu, sebahagian sastrawan lainnya menyatakan sikap untuk tidak terlibat pada politik. Dan mereka pun membuat manifestasi terhadap hal itu. Adapun manifestasi tersebut bernama Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Beberapa nama yang turut membuat dan menandatangani manifestasi tersebut diantaranya: Wiratmo Soekito, Gunawan Mohammad, Bokor Hutasuhut, Trisno Sumardjo, Zaini, H.B Jassin, Bur Rusyanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin (Arif Budiman), Sjahwil, D.S Moeljanto, Hartoyo Andangdjaja, Binsar Sitompul, Taufik A.G Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, Boen S. Oemarjati, Sutan Takdir Akisjahbana, Idrus, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), dan masih banyak lagi.

Mereka yang menjadi bagian dari manifestasi tersebut adalah merupakan orang-orang yang tergabung dalam Kelompok Gelanggang (Gelanggang Seniman Merdeka, berdiri tahun 1947). Sebuah kelompok yang didirikan oleh Chairil Anwar bersama kawan-kawannya yang berprofesi sebagai sastrawan dan seniman.

Manifestasi yang dibuat pada tanggal 17 Agustus 1963 tersebut bertujuan untuk melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri (yang pada masa itu sangat berjaya). Dimana Lekra yang mengusung konsep Reaisme Sosialis adalah bagaian dari golongan itu.

Pernyataan Dominasi dan Tekanan sejauh ini masih menjadi pertanyaan bagi saya. ‘Benarkah demikian?’. Jika membaca Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer Kepada Keith Foulcher (Author of Sastra Indonesia Modern), Pramoedya menjelaskan segala permasalahan yang dia alami hingga mengenai perselisihan antara Lekra dengan Manifes Kebudayaan”.

Pencetus utama dibuatnya Manifes Kebudayaan adalah H.B Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Soemardjo. Mereka sendiri mengusung konsep Humanisme Universal. Selain itu, Manifestasi Kebudayaan juga memiliki jargon, yaitu: “Seni Untuk Seni”, dan “Pancasila Sebagai Falsafah Kebudayaan”.

Manifes Kebudayaan dan Lekra sama-sama memiliki media pendukung dalam menerbitkan karya masing-masing anggota kelompoknya. Karya-karya yang diterbitkan bisa pada sebuah majalah ataupun buku. Persaingan kedua kelompok nampak jelas dari setiap tulisan-tulisan yang di publish majalah-majalah pendukung kelompok masing-masing.

Lekra memiliki supporting dari Zaman Baru, Harian Rakyat, dan Lentera pada media Bintang Timur. Sedangkan, Manifes Kebudayaan memiliki supporting dari Majalah Sastra.

Sebuah perang argument yang pernah terjadi antara dua kelompok tersebut adalah: saat majalah Lentera membuat tulisan yang menuduh bahwa karya Buya Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan plagiat dari karya pengarang arab, Manfaluthi.

Mengetahui hal tersebut H.B Jassin (pimpinan majalah Sastra) kemudian bereaksi membela Buya Hamka dengan menerbitkan terjemahan asli karya Manfaluthi. Namun, langkah tersebut tidak menyelesaikan masalah. Majalah Lentera semakin menjadi-jadi dalam mendiskreditkan Buya Hamka.

Atas kejadian itu, maka mulai muncullah sebutan kubu Jassin melawan kubu Pramoedya. Disinyalir nama pena yang menulis tentang keplagiatan Buya Hamka adalah Pramoedya Ananta Toer.

Perseteruan H.B Jassin dengan Pramoedya itu bukanlah yang pertama kalinya. Keduanya telah sering bersilang pendapat ketika Pramoedya masih menjadi bagian dari kelompok Gelanggang.

Pramoedya kemudian melepaskan diri dari kelompok yang berisikan kaum formalis yang menjadi kritikus-kritikus sastra itu. Hal itu dikarenakan perbedaan pandangan yang dialami Pramoedya mengenai karya sastra. Tak jarang karya-karya Pramoedya tak mendapat apresiasi dari mereka. Inilah yang menjadi penyebab utama beralihnya Pramoedya pada Lekra.

Lekra sering dianggap sebagai onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia). Karena banyak yang menyebut bahwa pendiri Lekra adalah dari kalangan petinggi PKI. Pihak Lekra maupun PKI tak ada yang memberikan pernyataan resmi soal itu.

Lekra memang memiliki ideologi yang sama dengan PKI. Makanya keduanya memiliki kedekatan. Sehingga Lekra dianggap bagian dari PKI.

Pada masa ini PKI sedang dalam puncak kejayaan karena perubahan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden Ir. Soekarno. Dari era Demokrasi Liberal Parlementer menjadi era Demokrasi Terpimpin. Dengan semboyan yang digunakan ialah NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Terlebih saat itu PKI adalah pendukung pemerintahan Soekarno.

Hal tersebut jelas memberi keuntungan luarbiasa bagi Lekra yang telah akrab dengan PKI. Selain itu, Pramoedya yang telah menjadi bagian dari Lekra pun memiliki kedekatan dengan Soekarno. Pramoedya adalah salah satu sastrawan pendukung pemerintahannya.

Persaingan Manifes Kebudayaan dengan Lekra akhirnya membuat sedikit pukulan pada pihak-pihak Manifes Kebudayaan. Dimana terjadinya beberapa peristiwa seperti: Dipenjarakannya Buya Hamka pada awal tahun 1963 dengan tuduhan “Makar”. Manifest Kebudayaan dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno karena dianggap menentang Manipol/USDEK-nya Soekarno. Hingga akhirnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuat pengumuman pelarangan karya-karya kelompok Manifes Kebudayaan.

Setelah bertahun-tahun dalam kejayaannya, akhirnya posisinya pun berbalik. Lekra dan PKI akhirnya pun hancur karena pecahnya tragedi Gerakan 30 September (G30S/PKI).

Lekra akhirnya dinyatakan terlarang sesuai TAP MPRS no. XXV/MPRS/Tahun 1966, tentang Pelarangan Komunisme, Leninisme, dan Pembubaran Organisasi PKI Beserta Organisasi Massanya.

Dengan ini Lekra benar-benar dianggap bagian dari PKI oleh rezim Orde Baru. Banyak anggota Lekra dipenjarakan setelah itu dan menjadi tahanan politik. Termasuk Pramoedya yang ditangkap di rumahnya pada 13 Oktober 1965. Ada juga yang menyatakan bahwa sebahagian sastrawan Lekra yang lain sudah terbunuh.

Pramoeda Ananta Toer yang dianggap sebagai tokoh simpatisan PKI yang berpengaruh kala itu benar-benar tidak mengetahui penyebab pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh PKI. Dia hanya menduga bahwa itu adalah akibat konflik internal yang terjadi di kubu Angkatan Darat. Hingga sebelum Pramoedya ditangkap di rumahnya, beberapa hari dia mengalami terror dari kelompok-kelompok yang tidak dia ketahui.

Akhirnya, setelah semua kejadian itu, sastrawan-sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan seperti menemukan udara segar kembali. Mereka kembali bebas berkarya.

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Putu Oka Sukanta kala itu adalah “Lekra dan PKI secara organisasi terpisah, tapi mempunyai tujuan yang sama”.

Sebagai sastrawan yang sangat terkenal di kancah Nasional maupun Internasional, mungkin banyak yang tak sepaham mengenai pendapat bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah bagian dari PKI atau penganut komunisme.

Jika kita telah banyak membaca karya-karya Pramoedya dan membaca biografi tentangnya, kita tidak pernah akan menemukan bukti bahwa dia adalah Komunis atau bagian dari PKI.

Dalam prinsip hidupnya hanya satu – berkarya berdasarkan apa yang menjadi dasar pemikirannya sendiri. Dan dasar pemikirannya (ideologi) tersebut dapat dilihat dari karya-karyanya yang selalu mengangkat nilai-nilai sosial. Maka, demi terus berkarya sesuai dasar pemikirannya, dia pun menjauhi kelompok Gelanggang yang saat itu hanya menilai sebuah karya berdasarkan nilai estetika, lalu bergabung dengan Lekra. Tak perduli Lekra adalah Komunis atau bukan. Dia hanya menilai Lekra punya tujuan yang sama dengannya.

Pada masa 1950 hingga 1960-an adalah masa dimana kekuatan politik sangat dominan. Melihat hal itu juga Pramoedya menganggap bahwa ideologi sastra yang dia anut penting untuk menyatu dengan politik. Ini menunjukkan bahwa dia tidak pernah menutup diri terhadap perubahan. Selama tujuannya tetap tercapai: agar sebuah karya punya pengaruh bagi kehidupan masyarakat, dan kritik sosial tetap menjadi penting bagi pemerintahan.

Karya-karya yang ada pada angkatan ini, diantaranya:

1. Pramoedya Ananta Toer: Bukan Pasar Malam (1951), Cerita Dari Blora (1952), Gadis Pantai (1962 – 1965), dan banyak lagi.

2. Nh. Dini: Dua Dunia (1950), Hati jang Damai (1960)

3. Sitor Situmorang: Dalam Sadjak (1950), Djalan Mutiara: Kumpulan Tiga Sandiwara (1954), Pertempuran dan Salju di Paris (1956), Surat Kertas Hijau: Kumpulan Sajak (1953), Wajah Tak Bernama: Kumpulan Sajak (1955).

4. Mochtar Lubis: Tak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952), Tanah Gersang (1964), Si Djamal (1964).

5. Marius Ramis Dayoh: Putra Budiman (1951), Pahlawan Minahasa (1957)

6. W.S Rendra: Balada Orang-Orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Ia Sudah Bertualang (1963).

7. Subagio Sastrowardoyo: Simphoni (1957)

8. Nugroho Notosusanto: Hujan Kepagian (1958), Rasa Sajange (1961), Tiga Kota (1959).

9. Purnawan Tjondronagoro: Mendarat Kembali (1962)

10. Bokor Hutasuhut: Datang Malam (1963)


7. Angkatan 1966 – 1970-an

Seperti pada angkatan sebelumnya, para pelaku (sastrawan) yang berperan pada angkatan ini masih dari mereka yang lama. Nama H.B Jassin masih menjadi salah satu pelopornya. Bahkan H.B Jassin sendirilah yang menyebutkan kemunculan angkatan ini.

Sastrawan-sastrawan yang menandatangani Manifes kebudayaan adalah para pemainnya di angkatan ini. Dan beberapa sastrawan baru yang sebelumnya juga telah berkarya selama masa kejayaan PKI dan Lekra, tapi bukan bagian dari Lekra ataupun Manifes Kebudayaan. Seperti misalnya Soe Hok Gie, adik dari Soe Hok Djin (Arif Budiman).

Soe Hok Gie merupakan mahasiswa Uniersitas Indonesia etnis Tionghoa yang menjadi aktivis. Dia banyak menciptakan karya-karya tulis, baik artikel maupun puisi yang berisikan tentang penentangannya terhadap pemerintahan Soekarno dan pemerintahan Soeharto.

H.B Jassin yang mengumumkan tulisannya melalui majalah Horison, Tahun I no. 2, Agustus 1966, halaman 36 – 41, yaitu: “Angkatan ’66, Bangkitnya Satu Generasi”. “Angkatan ‘66”, itulah disematkan bagi mereka para sastrawan yang kembali mendapatkan kebebasan berekspresi dalam berkarya setelah dihancurkannya PKI dan Lekra, juga tumbangnya Orde Lama.

Beberapa kalangan sastrawan pada masa ini kurang menyukai sebutan angkatan ’66. Mereka lebih menyukai disebut Angkatan Manikebu (“manikebu” adalah sebutan yang dilontarkan D.N Aidit (Pimpinan PKI kala itu) untuk mendiskreditkan Manifes Kebudayaan). Namun para sastrawan yang dahulu tidak turut dalam penandatangan Manifes Kebudayaan, menolak penggunaan sebutan itu.

Dimualainya angkatan ini ketika pecahnya aksi para demonstran yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) menuntut Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Dimana Tritura berisikan: Turunkan Harga, Bubarkan PKI, dan bersihkan kabinet dari unsur G30S/PKI.

Dengan kondisi seperti itu, para sastrawan pun turut menggelorakan tuntutan rakyat itu dengan karya-karyanya. Banyak sajak yang bertema kritik sosial dan politik dihasilkan saat itu. Seperti Taufiq Ismail dengan sajaknya yang berjudul Tirani dan Benteng, Mansur Samin dengan Perlawanan, Bur Rasuanto dengan Mereka Telah Bangkit, Abdul Wahid Situmeang dengan Pembebasan, Leon Agusta dengan Monumen Safari, dan banyak lagi yang lainnya.

H.B Jassin mengatakan bahwa yang termasuk Angkatan ’66 ini adalah mereka yang telah menulis sajak-sajak perlawanan pada awal tahun 1966 dan juga mereka yang telah aktif sebelumnya pada beberapa tahun terakhir dengan sesuatu kesadaran.

Sejak dimulainya orde baru ini pula, para sastrawan angkatan ’66 mendapatkan kebebasan berkarya. Sedangkan mereka yang dinyatakan terbukti sebagai orang-orang yang menjadi bagian dari PKI harus ditahan dan karya-karyanya ditarik dari peredaran.

Ada beberapa kejadian penting yang terjadi pada angkatan ini, diantaranya:

1. Pada Juni 1968
Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta) telah mempelopori terbentuknya Dewan Kesenian Jakarta. Namun, baru mendapatkan landasan hukum dan pengakuan dari pemerintah pusat pada tahun 1992 lewat Instruksi Mendagri No. 5A/1992.

2. Pada Oktober 1968
Sebuah cerita pendek yang berjudul Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin dilarang oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara karena isinya dianggap menghina Tuhan. Hal tersebut menunjukkan masih adanya golongan lain yang menyatakan bahwa kebebasan kreatifitas dalam sastra belum dijamin sepenuhnya oleh pemerintah.

3. Pada 10 November 1968
Pusat kesenian Jakarta, “Taman Ismail Marzuki”, dibuka secara resmi. Pada saat diresmikan, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memberikan pernyataan yang mendukung kebebasan dalam aktifitas seni dengan mengatakan bahwa politik tidak boleh intervensi dalam Pusat Kesenian Jakarta, seperti saat pemerintahan Orde Lama.

4. Pada Tahun 1971
Ketika Sardono W. Kusumo mementaskan Samgita II di Surakarta mendapatkan reaksi yang keras. Pementasan tersebut dilempari telur busuk dan beberapa pemain pendukung pementasan tersebut juga mengalami intimidasi dari pendukung seni tari jawa Adiluhung (Sastra Jawa Klasik).

5. Pada Tahun 1974
Teater Kecil milik Arifin C. Noer yang mementaskan Orkes Madun juga diprotes oleh seorang tokoh agama di Jakarta, K.H Adullah Syafe’i. Hal tersebut dikarenakan publisitas yang dilakukan oleh Arifin C. Noer menggunakan gambar semar beserta kaligrafi bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi, publisitas tersebut dianggap melecehkan agama Islam.

6. Pada Tahun 1975
Putu Wijaya yang mementaskan lakon “Lho” juga dip rotes dengan keras oleh Gubernur DKI Jakarta (Ali Sadikin) karena dalam lakon tersebut terdapat adegan senggama dan telanjang bulat. Ali Sadikin menyatakan bahwa lakon tersebut tidak baik dan salah.

Kebebasan berkarya yang dianggap oleh kaum Manifes Kebudayaan karena di musnahkannya Lekra dan PKI, serta tumbangnya pemerintahan Orde Lama ternyata tidak benar-benar begitu dapat dirasakan. Karena pemerintah Orde Baru semakin represif terhadap karya-karya yang coba melakukan kritik sosial dan politik.


8. Angkatan 1980 – 1990-an

Ada dua hal utama yang melatarbelakangi lahirnya angkatan kesusastraan ini, yaitu:

1. Aturan-aturan yang pemerintahan ketat (tidak pro rakyat)
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto yang mana pada masa itu beliau juga masih menjadi pimpinan militer telah merombak habis peraturan sisa-sisa pemerintahan Orde Lama. Namun, masih menjunjung tinggi ideologi Pancasila.

Tapi membentuk aturan-aturan baru yang kala itu sangat membatasi kebebasan masyarakat. Termasuk para sastrawan. Pemerintahan bagaikan tumbuhan Putri Malu yang tak bisa di sentuh. Sangat sensitif. Cukup besar resikonya jika apapun karya sastra yang dicipta kala itu mencoba memprovokasi, mengancam, melecehkan, menyinggung dan merugikan maka akan langsung ditindaklanjuti oleh Soeharto dengan segera.

2. Depolitisasi
Pada awal masa angkatan ini kesusastraan berada di tengah lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi yang nyaris total. Aktifitas-aktifitas politik mahasiswa ditertibkan dan mahasiswa sepenuhnya dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala macam aktifitas politik. Mimbar bebas tidak lagi dibolehkan dan bahkan indoktrinasi berupa penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) mulai menjadi bagian integral kehidupan kampus.

Politik stabilitas, security approach, normalisasi kehidupan kampus, dan asas tunggal merupakan lingkungan tempat para sastrawan angkatan ini hidup. Majalah sastra hanya ada Horison dan Basis. Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kesenian tidak lagi seleluasa dahulu, baik masalah dana maupun kegiatan.

Akibat dari depolitisasi ini, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat saat itu.


Kedua hal diatas kemudian menjadi alasan hilangnya karya-karya sastra yang bersifat sosial – politik, lalu memunculkan karya-karya yang bertemakan percintaan, dan kehidupan manusia. Dan memunculkan banyak sastrawan-satrawan baru yang terbilang hebat dalam menciptakan karya-karya seperti itu.

Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan 1980-an ini antara lain: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.

Selain itu, ada banyak sastrawan-sastrawan wanita yang muncul pada angkatan ini. Seperti misalnya Nh. Dini (Nurhayati Dini) dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu cirri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah: kuatnya pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

Lalu ada Mira W dan Marga T. Dua sastrawan wanita ini memiliki ciri-ciri sama pada novel-novelnya yaitu kisah romantis. Pada umumnya tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme. Karya-karya pada angkatan ini biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Ada beberapa sastrawan wanita yang terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang di komandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.

Pada angkatan inilah tumbuhnya sastrawan-sastrawan beraliran pop. Salah satu pelopornya yang cukup terkenal yaitu Hilman Hariwijaya dengan serial Lupus miliknya. Namun, setelah itu dia tidak aktif lagi menulis.


9. Angkatan Reformasi
Satu kata yang dapat mewakilkan alasan kemunculan angkatan sastra ini, ialah “Jenuh”. Bukan hanya bagi kalangan sastrawan. Kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya pun telah cukup jenuh terus dibungkam dengan kekuasaan yang tidak pernah memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat.

Merajalelanya KKN di kalangan elit pemerintahan dan krisis moneter pada tahun 1997 menjadi puncak kehancuran pemerintahan Orde Baru. Hampir tak ada bedanya dengan penjatuhan pemerintahan Orde Lama. Seluruh kalangan masyarakat tumpah ruah menduduki instansi-instansi vital pemerintahan hampir di setiap daerah. Demi menyampaikan tuntutan.

Ada 6 hal yang menjadi tuntutan reformasi waktu itu, yaitu:


1. Penegakan Supremasi hukum

2. Pemberantasan KKN

3. Mengadili Soeharto beserta kroninya

4. Amandemen Konstitusi (UUD 1945)

5. Pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri

6. Otonomi daerah seluas-luasnya.

Jatuhnya pemerintahan Orde Baru juga tak lepas dari pergerakan kalangan aktivis yang menyatakan diri sebagai bagian dari organisasi Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). Yang kemudian menjadi sebuah partai. Yang mana PRD sendiri telah terbentuk sejak April 1996.

Pada masa pergerakan PRD, ada banyak aktivisnya yang ditangkap aparat karena dianggap melawan negara, bahkan ada beberapa nama anggotanya yang hingga kini tidak pernah diketahui namanya. Termasuklah nama Widji Thukul salah satunya.

Sebagai sastrawan sekaligus aktivis pro demokrasi, Widji Thukul sudah memiliki jiwa sastra sejak kecil. Dia sudah mulai menulis puisi sejak duduk di angku SD. Puisi-puisi yang ditulisnya dan sangat terkenal hingga kini merupakan puisi-puisi bertemakan sosial dan politik.

Selama masa pelariannya dari kejaran aparat sejak tahun 1966, dia terus menciptakan puisi. Bisa dibilang, Widji Thukul adalah orang yang paling dicari pemerintah dan aparat saat itu. Karena suaranya yang begitu lantang dan pergerakannya yang sangat aktif menentang ketidakadilan.

Beberapa puisi Widji Thukul yang sangat terkenal dan pernah mengisi media massa saat itu, diantaranya:

1. Para Jenderal Marah-Marah

2. Peringatan

3. Sajak Suara

4. Bunga dan Tembok

5. Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa

Selain Widji Thukul, juga ada beberapa sastrawan yang aktif berkarya pada masa ini. Dan karya-karyanya juga merupakan karya-karya yang bertemakan sosial dan politik. Seperti misalnya: Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat.

Kemunculan sastra pada angkatan ini memang ditandai dengan kembalinya karya-karya yang bertemakan sosial dan politik, dan semangat demokrasi. Seperti karya-karya berupa cerpen, puisi, dan novel, yang khusus mengangkat seputar hal reformasi.

Selain sosial dan politik, ada juga beberapa ciri lain yang terlihat pada beberapa karya era reformasi, yaitu: Ekspresif seperti karyanya Ahmodun Yosi Herfanda (Resonansi Indonesia), bertema peduli bangsa seperti karyanya Acep Zamzam Noer (Di Luar Kata), dan tema religius dan nuansa sufistik seperti karyanya N. Rianto (Opera Kecoa).


10. Angkatan 2000-an

Berbeda dengan angkatan reformasi yang tidak pernah berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara. Maka pada angkatan ini, seorang Korrie Layun Rampan (sastrawan) mencetuskan angkatan 2000-an dengan menyusun sebuah buku yang berjudul “Sastrawan Angkatan 2000”, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Dimana pada buku tersebut berisikan lebih dari seratus nama sastrawan Indonesia yang terdiri dari penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra.

Mereka para sastrawan yang telah masuk buku tersebut bukan hanya yang berkarya sejak tahun 2000. Melainkan mereka juga yang telah menulis dan berkarya sejak tahun 1980-an. Yang mana karya-karyanya masih memiliki tempat dan minat di hati kalangan pembaca dan pecinta sastra. Maka dapat dipastikan angkatan 2000-an adalah angkatan sastra yang memiliki ciri dan karakter yang sangat beragam.

Beberapa nama yang masuk dalam angkatan ini diantaranya:


1. Ahmad Fuadi

2. Andrea Hirata

3. Ayu Utami

4. Cucuk Espe

5. Dewi Lestari

6. Habiburrah El Shirazy

7. Herlinatiens

8. Joko Pinurbo

9. Raudatul Tanjung Banua

10. Seno Gumira Ajidarma

11. Tere Liye

Dan masih banyak lagi nama lainnya.

Selain itu, ada beberapa peristiwa penting juga yang terjadi semasa angkatan 2000-an, yaitu:

1. Terbitnya jurnal cerpen (2002), oleh Joni Ariadinata, dkk.

2. Lomba sayembara menulis novel, Dewan Kesenian Jakarta (2003)

3. Festival seni Surabaya (2005)

4. Kongres cerpen yang dilaksanakan secara berkala 2 tahun sekali.

5. Cyber Sastra

Mengenai peristiwa Cyber Sastra adalah peristiwa baru yang kemudian menjadi hal biasa dilakukan hingga saat ini. Penyebab utama munculnya adalah teknologi yang berkembang, yaitu internet.

Bisa dibilang salah satu yang menjadi pelopor kemajuan ditingkat cyber sastra adalah Raditya Dika. Penulis fiksi yang terkenal dengan genre komedi itu telah memulai karir menulisnya dari dunia blogging. Hampir semua keseharian yang terjadi dalam hidupnya dia tulis pada blog miliknya. Yang kemudian menarik minat pembaca dari kalangan pengguna internet kala itu. Hingga kemudian dia memutuskan untuk membukukan semua tulisan yang dia tulis pada blognya.


Semoga pemaparan singkat mengenai “Periodisasi Sastra Indonesia” diatas bisa bermanfaat buat kita semua. Jika tulisan pada artikel ini punya banyak kekurangan mohon koreksinya. Dan jika memiliki kesamaan dengan artikel lain berarti memiliki sumber bacaan yang sama.
Lokasi: Semarang, Semarang City, Central Java, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar