Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher
Jakarta,
5 Maret 1985
Demi
Demokrasi 2 (1985); an English translation is in Indonesia Reports, cultural
and social supplement (August 1986)
Salam,
Surat
26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja
untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih.
Lampiran
itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam
kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela
diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang
sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari
semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya,
belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan
perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut
mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.:
“All
forgotten and forgiven” dan revisiannya: “We’ve forgiven but not forgotten.”
Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang
tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung
sendiri tahu, perkembangan sosial - budaya - politik disini - Indonesia, bukan
semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam
mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di
antara para manikebuis pernah menyatakan simpati – jangan bayangkan protes – pada
lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya
terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang
tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu
Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati malu
kelangan. Yang terjadi adalah – masih menggunakan suasana Jawa: tego larane,
tego patine.
Masalah
pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi
sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan dari padanya.
Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul
sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum
merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi
nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan.
Pertentangan
manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi
tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran
umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang
dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul
saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah
dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard
IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad
menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi
tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan
PRRI - Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda.
Mungkin
ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah
lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk
menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb saya hanya menggunakan hak
saya sebagai warga negara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari
hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan
pergulatan bukan hadiah gratis.
Dan
apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar
tanggal 24, bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik
Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul:
“Who’s Plot–New Light on the 1965 Events”, karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk
pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi
pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya
itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6
tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim
yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan
yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya, saya pergunakan
semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat
pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.
Sekarang
akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus
peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh
saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan.
Pada
1 Oktober 1965 pagi hari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian
berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat
para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka
yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok
belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa?
Saya
lebih banyak di rumah dari pada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam
rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat
kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya “diangkat” jadi “penasihat.”
Jadi
di rumah itu saja saya “ketahui” beberapa hal yang terjadi dari suara-suara
luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu
itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan
yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak
mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang
sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah
menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak
aman.
Ia
menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai
dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena
pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang
memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga
memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumah tangga orang,
kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap
yang diserang. “Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga,” katanya. “Soalnya
apa dengan saya?” tanyaku. “Kesalahan bung, karena bung tokoh” ,“Itu saja?
Tempatku di sini”, kataku akhirnya.
Seorang
penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga
anggota PNI – penjahit itu juga tetangga – menawarkan tempat aman pada saya nun di
Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan
betapa orang lain dapat melihat keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain
datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya
harus larikan? Diri saya? dan mengapa?
Kemudian
datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke
belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya.
Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata-kata yang saya
ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak
datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.
Keadaan
makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. Adalah tepat
bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama
saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di
tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini,
jangan nyasar ke alamat yang salah.
Di
tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan
saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra
Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukhori. di
malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda.
Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan
disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer.
Kemudian
datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung.
Lampu pagar dari 200 watt – waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap
terlalu mewah untuk kehidupan kampung – saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat
orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar.
Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu
habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat.
apa boleh buat karena suara-suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer
mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak
menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena
pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut-turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri,
Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua
ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan
pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya.
Terdengar ia melompat sambil memekik.
Jadi
kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah,
setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya
nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak
lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk
membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh
tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan
sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi
2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar
berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi
benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari
kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar
Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat
saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh
harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu
sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari
senjata.
Dengan
suara cukup keras saya memekik: “Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya
berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini
pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini?”
Ingar-bingar
terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar
paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan
batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan
juga.
Saya
dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara
orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan
dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara
lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya
sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung
memasuki tanah sang dukun cinta.
Dan
betul saja kata teman itu: kemudian datang orang-orang berseragam. Metode
kerja yang kelak akan terus-menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi
dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya,
mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya.
Komandan
militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung
menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan
rakyat.
Setelah
mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan,
segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah
dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai
untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya
bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan
perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum
sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi
Soekarno - Sartono - Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji
untuk menyelamatkan.
Mereka
giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping
dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara
itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan
sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu - dua orang. Hebat benar membikin
momentum qua perjuangan.
Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumah sakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan.
Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumah sakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan.
Kalau
Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia
menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya
tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya
dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok kelok melalui
kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama
saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara
Bukitduri.
Piket
mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai
yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya
dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami
dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai
beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang
perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jam tangan itu
memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papan tulis besar
tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu
sambil berguman: apa saja ini!
Seorang
bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini - itu. Saya
tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian
pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan
menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat
kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya
sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan
untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan
dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000
jilid buku dan beberapa ton koleksi surat kabar. Angka-angka itu saya dapatkan
dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.
Tangkapan-tangkapan
baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke
lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya.
Ia
bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku
belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris
batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti
militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang
sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring
tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.
Jangan
dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu
kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban
angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya.
Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban,
jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan.
Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal:
brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti:
dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan.
Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil
paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan
tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh
buat, pengalaman yang mengajarkan.
Di
antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan
tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika – saya sudah tidak ingat
dari Mali, Ghana atau Pantai Gading – yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa
Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi?
Saya
jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial
bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan
masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti
punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa
berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan
nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.
Pagi
itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua
lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya
tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali.
Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis
dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang
militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting
ke tanah. Ruangan telah penuh - sesak dengan tangkapan baru, sampai di
gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya
terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah
sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan
emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubang Buaya
memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya,
tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk
berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu
kejinya.
Kemudian
datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam,
siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang
ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum
tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan
langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya.
Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan
itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada
apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang
letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.
Di
luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan
pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin
cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya
berdarah-darah.
Jawab:
terjatuh.
Tapi
itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan.
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung?
Jawab:
tidak tahu sesuatu tentangnya.
Pertanyaan:
Apa membenarkan gerakan itu?
Jawab:
Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan-kenyataannya yang authentik
mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebelum
meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum
penangkapan saya.
Pertama:
sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai
G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu
tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam
Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin
hari semakin banyak dan menekan.
Kedua:
seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa
militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus.
Tiga:
dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih
lengang, di sekitar kampus.
Keempat:
pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan
dalam peristiwa Lubang Buaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI.
Kelima:
beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan
dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat.
Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya
datang menemui direktur Balai Pustaka – waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah
ingat – dan mengajukan protes karena Balai Pustaka dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan
informasi yang salah tentang saya. Direktur Balai Pustaka menolak protes saya. Pegawai
yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam
peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan
hanya sebagian daripadanya saya umumkan.
Dan
memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda
Rakyat. Tetapi itu bukan satu-satunya. Kalau sore ruangan belakang juga
menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh
Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam
ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan.
Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada
sesuatu yang dapat dituduhkan illegal.
Keenam:
seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau
diperiksa andakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja “ya” – tidak peduli benar
atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur
hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya
selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb, dapat saya sebut namanya, karena
memang tidak mampu mengingat–hampir 20 tahun telah liwat. Jadi
waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya.
Pertanyaan:
Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis?
Jawab:
Tidak dalam 40 tahun ini.
Sebabnya?
Faktor
geografi dan konservativitas Indonesia.
Cuma
itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan
itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan
itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana disebutkan di rumah
saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk
permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah
meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya
kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji
tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa
sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam.
Dengan
demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada
proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang. Bila
ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama.
Mungkin
Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh
saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat
serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia
sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan
bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi
aku di kamar kapal selam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain
ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu
ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk
pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya
dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya
luar biasa, bawahannya diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan
veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia
pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah
ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya
membaca Duta Masyarakat itu.
Nah
Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi
saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja
datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya,
diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya,
untuk dipergunakan belanja istri saya.
Di
Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para
tangkapan. Sepatu sampai sikat gigi dan ikat pinggang. Waktu itu baru saya sadari
di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik
pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri
temannya.
Dari
guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus
tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam
pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer.
Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini
ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepeda motor yang
mengawal sebuah sedan biru tua dalam bulan November 1960 dari Peperti
Pegangsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta
“diwawancarai” oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku
Oktober 1965 itu adalah Rompis.
Sejak
itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya
selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum
manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai
sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri
menang.
Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerja paksa, mereka satu jam pun tidak
pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.
Tentang
A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel
di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi
militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya
tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang
terbit di Garut.
Pertemuan
kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang
dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia
jadi sep saya dalam kantor yang sama – ya saya sebagai pegawai negeri dengan
pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya
bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata
ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap
membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung
dalam menyudutkan orang-orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian.
Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai
detik saya menulis ini.
Dalam
pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah
saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau
letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah
kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali
ada gunanya saya ceritakan.
Saya
mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang
pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya
menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari
seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama
dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang
panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh
dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda
motor saya, BSA 500cc.–sepeda motor militer sebenarnya – juga dikurbankan. Tiba-tiba
mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal
biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia
tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan,
katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang.
Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih dari pada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).
Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih dari pada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).
Kami
sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang
yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya
tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian
partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah
itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada
prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil
sampai sekarang tetap begitu saja.
Baik,
kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama
sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman
indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi
seorang pengarang.
Apa
yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya
alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A-A
di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa
lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon
pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat,
tidak ada jalan bagi saya dari pada mengancamkan memanggil para wartawan
Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan
yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus
saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut
macam-macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri
luar negeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam
arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno
untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari
Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh
beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu
terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi
dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri.
Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas
perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di
Cipinang, karena menentang PP 10.
Hampir
satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan
satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya
Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga
memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang
dalam melawan PRRI di SumBar.
Penahanan
1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah
kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun
keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya
ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas,
lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat
memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan
kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung
Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi
Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang
justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu.
Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.
Dapat
Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti
dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami.
Saya
heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya mengapa namanya
dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia
sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari
bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak
memberi penjelasan.
Di
halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali.
Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam
gambaran saya orang yang “selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas
meja” -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan
Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3):
“Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan
meletakkan pistol di meja.” Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya
temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai-andai, A.K.M.
sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah
saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum.
Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi:
seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki
benar-tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum
meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan,
bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya
sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong
di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan
kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian
bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada
orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia?. Sebaiknya
A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.
Di
halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: “di depan rumahnya saya
sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya
begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang,” dan “saya tahu Pram
tentu butuh duit ketika itu.” Memang agak janggal menampilkan saya semacam
itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera
setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta
dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja
telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka
dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak
mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT
pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu
A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak
kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka
menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang
dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan
lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol.
Beberapa
orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian
ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu
identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai
sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak,
dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan
mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah
banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua.
Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang.
Mereka
tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu
kerja paksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam
hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan
yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian
berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah.
Seorang yang di Buru mempunyai setia kawan begitu tinggi dan diangkat jadi
kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang
relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti
material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan
harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama
sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan
tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman-teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok.
Pukulan
lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8
rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan
rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami
lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan
teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya
sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya
saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban
pada teman- teman Savitri.
Nah
Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama
sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran
tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih.
Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang
sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai
investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu
memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak
pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang
datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya
3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih
memerlukan.
Demikian
juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam
kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah
pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu.
Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima
saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis
saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar
berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.)
Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau
menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah
keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.
Jangan
dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap
lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan
jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we’ve forgiven
but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak
bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar
dirinya.
Tentang
Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk
membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab
mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak
dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi,
formal ataupun non-formal.
Dalam
hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun
Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan
masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca
kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua,
Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang
Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau.
Selama
14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari
itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru
santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau
menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak
beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais,
bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk
menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan
diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan
tanda-tandanya – dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra
wayang.
Berdasarkan
pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh
Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya
pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada
pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan
Revolusi.
Saya
menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun
dengan Pancasila itu juga orang-orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10
tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan
kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian – artinya tak perlu
melaksanakannya dalam praktek – pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya
terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan:
tanpa pembuktian.
Dalam
hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada
rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.
Pada
1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang
dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya
tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu
saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur
dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya
langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi.
Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa.
hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan
diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang
disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal
yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli
hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak
seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan
Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.
Nah,
Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan
hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu.
Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk
menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui
mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin,
kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb, ternyata
adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.
Saya
belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar
hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.
Tak
lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang
intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat,
pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak
jelas sudah dibikin terang olehnya.
Untuk
tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum
ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya
membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai
pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower
akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya
dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional saya
menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat
akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi
dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia
adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya
ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani.
Ia tak mengenal ya ataupun tidak.
Semoga
surat kelewat panjang ini – lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri – ada
manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak.
Salam
pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya
kecewakan.
Belakangan
ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional
yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict
kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat
saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu.
Salam
hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.
Tetap
(tanda tangan).
Titanium Dive Knife - An Unbiased Review - TITIAN DOGENES
BalasHapusThe design w88 is a nice fit for all DE models, including stainless steel models chi titanium flat iron (e.g. 2.8x) which provide the titanium mens wedding band perfect balance of the blade for an Rating: 4 · Review infiniti pro rainbow titanium flat iron by titanium trimmer Levi Buchanan
w621n4fdaeu040 glass dildos,Butterfly Vibrator,black dildos,Wand Massagers,realistic dildo,dog dildo,realistic dildos,dog dildos,fantasy toys s028u0fymec466
BalasHapus